Cerpen: Siapa yang Gila?

 Matahari serasa sejengkal dari atas kepalaku. Hari ini sangat terik sehingga badanku basah oleh keringat yang dari tadi bercucuran. Aku segera menyebrangi jalan saat lampu merah muncul. Satu-satunya tempat yang ingin ku kunjungi adalah kantor berlabel DPRD yang ada diseberang sana. Bukan untuk menghadiri rapat atau semacamnya, hanya ingin berteduh di bawah pohon rindang yang berada di luar kantor. Kantor DPRD ini dikelilingi beberapa pohon beringin besar yang rindang. Aku memang biasa berteduh disana setelah perjalanan panjang. Bahkan aku pernah bermalam disana jika satpam sedang tidak berjaga. Aku serius.

Bocah-bocah yang sudah terlebih dahulu berteduh disana dengan segera beranjak pergi saat melihatku. Aku dapat mendengar bisik-bisik gusar mereka saat aku tiba, seolah mempersilahkanku dengan kasar. Bagaimana tidak kasar! Mereka berbisik “Awas, orang gila, ayo pergi”. Kasar bukan? Mereka memanggilku gila! Huh, aku gila? Sebenarnya wajar saja mereka memanggilku orang gila. Seorang lelaki mengenakan pakaian lusuh dan tanpa alas kaki berjalan tanpa arah tujuan sambil membawa kantong kresek. Aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka jika memanggilku gila, karena penampilanku memang tampak begitu. Permasalahannya adalah aku sebenarnya tidak gila, setidaknya menurutku. Aku masih berpikir waras, walaupun aku akui beberapa tahun lalu aku pernah mengalami sedikit goncangan yang membawa sedikit perubahan pada diriku. Baiklah, mari ku ceritakan sedikit padamu tentang masa laluku yang sangat normal.


 Sebelumya aku adalah pengusaha kaya. Aku punya segalanya. Harta berlimpah, rumah super mewah, istri cantik dan seorang bayi yang manis. Tapi seperti kebanyakan cerita dalam sinetron, aku bangkrut. Istriku pergi begitu saja meninggalkanku, tak ada yang peduli padaku. Kerabat? Aku bahkan tidak tahu siapa orangtua asliku. Sebatang kara? Ya memang. Setelah itu, orang-orang menyebut bahwa aku mengalami stres. Untungnya aku tidak dirawat di rumah sakit jiwa. Jujur saja aku benci dikurung, bahkan ketika orang masih menganggapku waras aku tidak suka dikekang apalagi dikurung di rumah sakit yang dipenuhi orang gila. Kemudian beginilah akhirnya, menggelandang di jalanan. Sendiri. Tapi sejujurnya aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini. Kelihatannya buruk memang, tapi siapa yang benar-benar tahu bagaimana rasanya menjadi orang gila yang waras.

 Aku duduk di bawah pohon sambil mulai membuka kantong kresek yang selalu kubawa. Aku mengeluarkan sebuah kantong plastik berisi roti yang baru saja kubeli. Hey, aku membelinya. Aku serius. Aku sama sekali tidak mencuri atau memungutnya dari keranjang sampah. Setidaknya, aku masih bisa membedakan mana makanan yang sehat dan yang tidak, kecuali persediaan uangku sudah benar-benar habis. Untungnya saat ini aku masih punya uang. Aku masih memiliki sisa kekayaan yang kusimpan dalam kantong kresek ini, walaupun tidak banyak memang. Mungkin kedengarannya aneh, orang gila membeli roti ke warung. Tapi ingat, aku orang gila yang waras. Jadi, aku mengambil roti dari warung dan menaruh uangnya ketika si penjaga sedang tidak ada. Aku hanya ingin menghindari kemungkinan terburuk bahwa si penjaga akan buru-buru mengusirku sebelum aku masuk ke warungnya. Hal ini selalu aku lakukan dan sejauh ini selalu berhasil.
Sebagai orang gila, hal yang kulakukan hanya duduk dan berjalan seenaknya. Saat aku duduk dibawah pohon ini biasanya aku senang memperhatikan orang-orang yang sedang lalu lalang. Gerak-gerik dan ekspresi mereka kadang membuatku tertawa sendiri sehingga membuat orang-orang yakin kalau aku memang benar-benar gila. Sesekali, aku menggertak orang yang sambil berjalan tidak berhenti memandangiku, yang tentu saja dengan pandangan ngeri. Tapi biarlah, mereka dengan pemikiran mereka dan aku dengan pemikiranku. Mereka tidak pernah tahu kan apa yang kupikirkan. Terkadang, aku kesal karena tatapan-tatapan aneh para manusia normal yang memandangiku, seakan aku akan berbuat jahat pada mereka. Kenyataannya, aku tidak pernah berbuat jahat pada mereka, bahkan aku tidak peduli. Namun tidak dapat ku elakkan bahwa aku masih punya keinginan untuk sekadar berbicara sepatah kata pada mereka walaupun mereka masih akan tetap menganggapku gila. Tapi itu Cuma angan-angan. Dan lambat laun aku mulai terbiasa dengan tatapan-tatapan itu, aku pikir mungkin mereka hanya heran melihat penampilanku yang agak berbeda dengan mereka, manusia normal.

 Rasanya sejuk duduk dibawah pohon rindang apalagi ketika cuaca seterik ini. Aku menyandarkan tubuh pada pohon dan mulai memejamkan mata. Tapi sepertinya mata ini berontak. Mataku tertuju pada seorang manusia berjas hitam yang sedang berteduh sambil berbicara melalui telfon genggamnya dibawah pohon, tak terlalu jauh dari tempatku berteduh. Ekspresi wajahnyah tampak marah saat berbicara di telfon. Tapi bukan itu yang membuatku tertarik. Ada seorang pria mengenakan jaket hitam yang gerak-geriknya mencurigakan di belakang manusia berjas itu. Berkali-kali si pria berjaket hitam berusaha menggapai tas manusia berjas yang disandangnya dan sepertinya akan merobek tas tersebut menggunakan pisau kecil yang ada di genggamannya. Menurut kewarasanku, si pria berjaket adalah pencopet dan aku harus menolongnya. Menolongnya secara wajar.

 Jarak kami sekitar lima meter dan sempat terlintas di pikiranku bahwa aku akan teriak saja. Tapi setelah kupikir lagi, rasanya tidak akan berhasil karena pertama, ternyata dalam situasi darurat seperti ini tidak banyak orang, jadi jika aku berteriak si pencopet akan segera kabur. Kedua, kalaupun aku berteriak, aku hanya akan dianggap lelaki gila yang sedang berada dalam ketidakwarasannya. Maka kuputuskan untuk menghampiri si manusia berjas diam-diam. Aku mulai berjalan ke arah manusia berjas dengan menundukkan kepala, pura-pura tidak melihatnya. Sekilas, tampak si pencopet masih berusaha merobek tasnya, sedangkan si manusia berjas masih saja kelihatan marah saat berbicara di telfon. Semakin dekat dengan si manusia berjas, sayup-sayup aku mendengar percakapannya di telfon.

“Lho, berarti anda melanggar kesepakatan. Anda harusnya berbagi dengan saya dong.”
Si manusia berjas terdiam sebentar dan kemudian melanjutkan omelannya,

“Amplop kemarin kan sudah saya serahkan ke juragan, anda bilang saya juga bakal dapat seperempatnya.”

Kali ini dia berbicara dengan suara yang lebih keras dan dengan wajah yang benar-benar tampak kesal. Berbeda denganku yang sekarang agak gugup karena si pencopet sudah berhasil mengambil apa yang dia inginkan, tapi benda yang sekarang ada di genggamanya di luar dugaanku, ternyata bukan semacam dompet melainkan sebuah amplop besar berwarna agak kecoklatan. Parahnya lagi, si pencopet memergokiku yang sedang memerhatikannya. Kelihatannya dia tidak menyukaiku. Beberapa saat kemudian, aku tak melihat kronologinya, tapi tiba-tiba dia sudah menggenggam dompet berwarna hitam milik si manusia berjas. Anehnya, pria berjaket malah mengayun-ayunkan dompet tersebut ke arahku.

“Pokoknya saya tidak mau tahu, kalau anda tidak memberikan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, saya akan beberkan semuanya.” Si manusia berjas langsung menutup percakapannya dengan wajah yang benar-benar tidak nyaman untuk dilihat.

Aku masih heran, karena si manusia berjas ternyata benar-benar tidak menyadari keberadaan pencopet yang ada dibelakangnya. Si manusia berjas sudah selesai dengan omelannya dan bersiap untuk melangkah pergi. Tiba-tiba tubuhku secara tidak sadar, bergerak dengan cepat ke arah si pencopet, tapi aku ragu, sepertinya si pencopet sedikit bodoh atau terlalu pintar karena dia melemparkan dompet itu ke arahku. Untungnya aku mendapatkan dompet yang dilemparnya, tapi ini bukan akhir yang baik karena setelah itu dia berteriak.
“Copet...Copet...”

Manusia berjas yang sudah pergi beberapa langkah langsung menoleh ke belakang dan meraba tasnya. Wajah kusam bercampur amarah manusia ini terlihat lagi. Aku masih berharap ini bukan akhir yang buruk tapi sepertinya ini memang buruk. Aku terdiam masih menggenggam dompet itu. Aku ingin menjelaskannya. Tapi tidak bisa, karena aku sudah lama tidak berbicara dengan manusia normal. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Cuaca serasa makin terik dan keringatku makin banyak bercucuran. Akhirnya yang kulakukan adalah memutar badan dan lari secepatnya, sementara banyak manusia normal mengejarku di belakang. Aku tahu apa yang mereka pikirkan sekarang, mengejar pencopet tak beruntung ini sampai dapat dan kemudian mereka akan menghajarku. Ingin rasanya aku berhenti untuk mengatakan bahwa bukan aku pelakunya dan bersorak Lihat! aku hanyalah orang gila yang berusaha melakukan hal waras. Tapi aku tak bisa berhenti, kantong kresek yang selalu ku jinjing terlepas begitu saja. Sayup-sayup kudengar seseorang mengatakan berhenti. Aku menoleh ke belakang dan menemukan seseorang berserangam membidik pistolnya ke arahku. Aku berniat akan berhenti saat melihat pria berseragam ini dan berharap dia tidak jadi menembak. Tapi terlambat. Sebuah peluru sudah lebih dulu bersarang di perut sebelah kiriku. Aku dapat merasakanya. Aku jatuh. Ntah apa yang akan terjadi, tapi sepertinya anganku untuk berbicara dengan manusia normal hilang sudah. Hanya dua kata yang ingin kukatakan pada mereka, KALIAN GILA.

Judul : Siapa Yang Gila
Penulis :  Zoe Dimitri
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Cerpen: Siapa yang Gila?

voyeur porn porn movies sex videos hd porno video